Mulai berlangganan untuk menerima kabar terbaru secara gratis! Klik disini

Harga Itu Nggak Asal Tempel — Ia Terbentuk Lewat Perang Dingin Antara Pembeli dan Penjual


Coba kamu ke pasar, atau buka marketplace online.
Ada ribuan harga di sana. Harga kopi, harga motor, harga konten digital, bahkan harga diri. eh, maksudnya jasa. Tapi pernah nggak kamu berhenti sebentar dan mikir: “Ini harga, siapa sih yang nentuin?”

Bukan cuma penjual. Bukan juga pembeli. Tapi sebuah medan tarik-menarik yang sunyi di mana keduanya saling mengukur kekuatan tanpa sadar.

Itu yang disebut sebagai keseimbangan pasar.

Penjual selalu punya keinginan: “Barang ini harusnya bisa laku mahal.”
Pembeli juga punya mimpi: “Barang ini harusnya bisa gue dapat semurah-murahnya.”
Di antara dua keinginan itu, tercipta harga yang—meskipun tidak ideal untuk keduanya tapi bisa diterima oleh keduanya. Harga yang tidak membuat pembeli lari, tapi juga tidak membuat penjual rugi.

Harga inilah yang disebut sebagai harga keseimbangan. Bukan harga asal tempel. Tapi hasil dari negosiasi tak kasat mata antara permintaan dan penawaran.

Kalau harga kamu terlalu tinggi, barangmu akan diam tak tersentuh. Disentuh pun cuma dilirik, lalu ditinggal. Kalau terlalu murah, kamu bisa cepat laku, tapi kamu kehabisan napas untuk lanjut produksi.

Itu sebabnya, pengusaha yang bertahan bukan hanya yang pandai produksi, tapi juga yang peka terhadap “suara pasar”—suara yang sering tak terdengar, tapi bisa dirasakan kalau kamu benar-benar hadir.

Pasar itu bukan angka. Ia adalah perilaku. Ia adalah psikologi. Ia adalah cerita-cerita kecil dari dompet orang lain, yang kalau kamu peka, kamu bisa dengar tanpa mereka bicara.

Di dunia nyata, harga keseimbangan itu nggak muncul dengan tiba-tiba. Ia sering butuh waktu. Kadang harus lewat kerugian. Kadang lewat trial error yang menyakitkan.

Kamu akan lihat, ketika harga terlalu tinggi, stokmu akan menumpuk. Uangmu terkunci di rak. Kamu mulai panik, mulai diskon, mulai obral. Tapi itu bukan solusi. Itu reaksi.

Atau kamu banting harga sejak awal, karena takut nggak laku. Tapi akhirnya kamu kehabisan tenaga. Untungmu kecil. Dan di saat kamu butuh dana buat promosi, kamu malah megap-megap.

Di situlah kamu sadar: harga itu strategi, bukan panik.

Keseimbangan pasar itu seperti nyari nada pas dalam sebuah lagu. Kalau terlalu tinggi, orang males nyanyi bareng. Kalau terlalu rendah, suaranya tenggelam. Tapi kalau kamu nemu yang pas semua ikut nyanyi, dan kamu jadi pusatnya.

Banyak bisnis kecil gagal bukan karena idenya jelek, tapi karena mereka gak ngerti kapan harus dengerin pasar. Mereka maunya ngatur, bukan ngadaptasi. Dan mereka lupa: pasar itu kayak laut. Kamu gak bisa lawan ombak. Tapi kamu bisa belajar berselancar.

Jadi kalau kamu tanya, gimana cara nemuin harga yang pas?

Jawabannya bukan di Excel. Tapi di percakapan. Di pengamatan. Di rasa. Kamu tanya orang. Kamu perhatikan kompetitor. Kamu lihat barangmu laku di mana, dan mandek di mana. Kamu turun ke bawah. Kamu jangan sok tahu.

Karena kadang, keseimbangan itu datang bukan dari strategi besar, tapi dari keberanian untuk mendengarkan.

Kesimpulannya?

Harga itu bukan cuma angka. Ia adalah cermin dari keinginan dua kubu yang berbeda. Dan tugasmu sebagai pengusaha adalah menjadi penengah—bukan penentu. Kamu gak jual barangmu. Kamu jual rasa cocok. Rasa cukup.

Kalau kamu bisa nemuin titik itu, maka pasar akan membuka pintunya buat kamu. Bukan karena kamu hebat. Tapi karena kamu mengerti.

Ajakan

Tiap hari kamu melihat harga. Tapi berapa kali kamu merenungkannya?
Coba hari ini kamu lihat produkmu—entah itu karya, jasa, atau barang. Lihat harganya. Tanya lagi: “Apakah ini benar-benar harga yang seimbang? Atau cuma harga yang aku pasang karena ego?”

Jangan buru-buru jawab. Rasakan dulu.
Dan kalau kamu punya cerita soal jatuh bangun ngatur harga, bagikan. Karena cerita seperti itu bukan aib. Tapi bekal untuk orang lain yang sedang belajar berenang di pasar yang sama.

Perkenalkan Saya Brian Atmoko, CEO, Founder sekaligus Owner dari Tim Cokro Aksata Nusantara!